Sabtu, 27 Juni 2020

Atap masjid itu, "me time" ku dulu.








Tangga menuju atap masjid mulai dibangun, dan mulai saat itulah aku memiliki tempat favorit untuk merayakan waktu senggangku seorang diri disana.

Kalian tahu ? Waktu yang paling tepat untuk berada di atap masjid itu, hanya ada 2. Berangkat paling awal untuk sholat berjamaah atau berdiam paling akhir di masjid. Keduanya ada konsekuensinya.
Jika berangkat di awal waktu sholat dan nekat pergi ke atap masjid, kalian pasti akan terkena sorotan seribu mata santri yang berjamaah ketika turun dari atap tangga. Atau bisa jadi kalian akan dipanggil pengurus untuk diberi hukuman dengan berbagai alasan. Waktu yang pertama ini, jarang saya lakukan kecuali ketika saya menjadi pengurus itu sendiri. Dan itu pun ketika saya berada di atap harus terburu-buru menikmati waktu "me time" saya. Agar ketika turun melewati anak tangga hanya puluhan mata saja yang melihat saya, ya katakanlah saja menjaga image karena ketika kita berada di atas pasti akan banyak hati yang berprasangka yang tidak-tidak.

Waktu yang kedua ini, selalu waktu yang saya idam-idamkan. Waktu berdiam paling akhir di masjid. Menunggu hanya beberapa orang saja yang berada di masjid atau menunggu hingga habis. Tergantung siapa yang berada di akhir ketika di masjid. Jika yang berada di akhir di masjid adalah para pengurus, lebih baik saya menunggu waktu sedikit lebih lama atau saya membatalkan keinginan saya untuk berada di atap masjid.
Biasanya waktu terbaik saya berada di atas masjid adalah saat tidak ada kegiatan muhadatsah di pagi hari. Jdi selepas sholat subuh saat kegiatan itu libur untuk hari tertentu. Saya selalu menggunakannya untuk pergi ke atap masjid. Sebenarnya tidak ada larangan untuk ke atap masjid. Tpi mungkin karena dianggap berbahaya maka larangan itu secara tidak tertulis telah ada.
Belum lagi nanti menjadi bahan suudhzon para pengurus (bisa dikatakan mau melihat santri putra lewat atap masjid lah, cari-cari perhatian dengan santri putra yang berada di masjid bawahlah atau apalah) yang namanya suudhzon pasti akan diada-adakan.
Beruntunglah saya tidak termasuk santri yang sering terkena hukuman. Jangankan mengintip santri putra, ada santri putra di depan saya pun saya tetap tidak peduli. Bukannya malu atau sungkan tpi saya lebih cenderung ke sifat bodo amat. Jadi saya selalu aman ketika berada di atap masjid. Yang penting tidak ada yang lapor atau ketahuan ya 😂😂


Tidak banyak yang saya lakukan di atap masjid, terkadang hanya keliling atau berlari kecil di atap masjid yang banyak paku kecil-kecil karena memang atapnya belum selesai diperbaiki. Saya lebih sering berdiam diri dan memandangi pemadangan di sekeliling masjid waktu itu. Jika melihat ke arah barat akan saya jumpai pohon siwalan yang lebat dan hamparan sawah masyarakat sekitar. Suka sekali melihatnya, begitu rindang dan hijau yang membuat hati merasa damai dengan sendirinya.

Jika melihat ke arah utara maka akan saya jumpai hamparan pohon bambu yang berada tepat disamping masjid dan atap-atap gedung SMP ku.


Jika melihat ke arah timur maka akan saya jumpai dataran tinggi atau perbukitan desa Sendangduwur. Dan itulah yang selalu membuat saya rindu, masjid bersejarah yang ada di lamongan, masjid Sendangduwur yang selalu melantunkan suara tarhim menjelang adzan subuh 😭😭😭 dan itu yang selalu membuat saya teriris ketika mengingatnya. Entah mengapa waktu subuh adalah waktu paling syahdu dalam hidup saya. Seakan segala kesedihan dan harapan tumpah ruah disana. Nanti akan saya ceritakan sepenggal kesedihan dan harapan saya di pesantren ini.


Sedangkan ketika memandang ke sebelah selatan, gedung pesantren santri putra terlihat terang disana. Mungkin bagi para santri-santri yang ganjen mereka suka memandanginya, bagi saya tidak. Saya paling takut ketahuan jika mengarah di sebelah selatan ini, yang saya pikirkan kala itu saya takut dilaporkan santri putra ke para ustad klo ada santri putri yang berada di atap masjid sendirian. Waah bisa bahaya ini klo smpe saya ketahuan dan dilaporkan ke ustadzah atau ke pengurus santri putri.


Hal yang saya lakukan ke dua hanya ketika saya sulit berkonsentrasi, sebagai santri akan selalu identik dengan hafalan. Ketika otak saya sudah bebal dengan suara teman-teman saya yang menghafal dengan kerasnya atau saat teman-teman yang lain sedang bercanda atau bercakap dengan suara yang keras maka saya akan sulit berkonsentrasi. Maklumlah telinga saya lebih peka, mungkin gaya belajar saya lebih ke auditori, yang Peka terhadap suara. Saya lebih memilih menghafalkan di atap masjid. Itu lebih mudah bagi saya. Hal yang sulit saya lakukan adalah menghafal tanpa memahami. Sedangkan tuntutan hafalan di pondok terkadang tidak meminta kita untuk faham terlebih dahulu, terkadang ada beberapa materi yang menggunakan metode hafalan dulu. Dan itu membuat saya kesulitan, maklumlah otak saya tidak secemerlang yang lain. Tapi saya selalu tekun dalam belajar, itulah mengapa saya butuh banyak waktu dibandingkan yang lain.

Hal yang terakhir yang suka saya lakukan adalah saya hanya diam, mengamati lalu lalang jalan yang berada di bawah sana. Hanya memperhatikan mobil lewat, sepeda motor lewat, orang berjalan, orang berolahraga. Hanya itu. Dan saya suka saja melihatnya. Sebenarnya tidak ada manfaat yang lebih selain saya memperhatikan orang lain. Saat saya melihat jalan raya, seakan saya telah melihat dunia luar. Hanya itu yang saya lakukan. Sereceh itu tapi saya merasa saya telah berada di dunia lain.

0 komentar:

Posting Komentar