Menjadi seorang guru ? guru yang seperti apa ? guru
yang mendidik anak didik dengan baik. terdengar abstrak sekali kalimat itu.
Lantas harus bagaimana ?
Terkadang saya bingung
dengan keadaan saat ini, ketika prinsip hidup kita terkadang tidak dapat
terlaksana bukan karena masalah dalam diri kita masing-masing. Jika prinsip hidup
saya ketika saya menjadi seorang guru, maka saya harus dapat menjadi orang tua
kedua bagi anak didik, itu artinya kita arus mampu dekat dengan anak didik,
berkasih sayang, mendengarkan cerita mereka, keluh kesah, dan menjadi teman
dekat mereka dan menjadi seorang yang tegas ketika mereka melakukan kesalahan.
Selain menjadi orang tua kedua, bagi saya guru adalah seseorang yang harus
dapat menjadi contoh yang baik, dalam hal ini saya rasa sangat sulit sekali,
seperti dalam bertutur kata, bertingkah laku dengan baik, di dunia nyata maupun
dunia maya. Dalam dunia nyata saya berusaha menjaga prinsip tersebut, seperti dalam bertutur kata maupun bertata kelakuan,
namun berbeda halnya dalam dunia maya. Saya lebih baik tidak berkawan dengan
mereka dalam dunia maya, itu adalah pendapat saya. bagaimanapun juga saya
adalah seorang manusia yang juga membutuhkan ruang dalam mengekspresikan diri
saya. tidak mungkin saya yang mungkin seorang yang “alay, lebay atau konyol”
harus menampilkan sosok itu dihadapan anak didik saya. Jika kita mau menyelami
pikiran anak didik yang usianya dibawah 18 tahun, mereka sebenanya belum
benar-benar mampu membedakan mana yang patut dicontoh dan mana yang tidak. Terkadang
pada usia mereka, mereka hanya mampu mencela kesalahan orang tanpa mau tahu
sebab celaan itu. Untuk itulah saya menghindari pertemanan dengan anak didik
dalam urusan dunia maya. Bagi saya contoh real di dunia nyata ketika saya
bertatap muka sudahlah lebih dari cukup. Bukan berarti saya adalah orang yang
munafik, karena apa yang ada di dunia nyata berbeda dengan dunia maya, bagi
saya inilah perbedaan yang harus dapat kita bedakan dengan rasionalitas. Bertata laku berbeda dalam setiap kondisi
dan tempat yang berbeda itu dibutuhkan. Bukan berarti kemunafikan. Tata bahasa
jawa membagi penuturan bahasa dalam berkomunikasi menjadi tiga; tutur krama,
tutur madya dan tutur ngoko. Jika kita mau memahami budaya jawa tersebut seharusnya
kita bisa memahami dari tiga tingkatan tersebut, bahwa ketika kita bertutur
pada orang yang berbeda kita memiliki cara yang berbeda pula.
Masalah
yang biasa timbul bukan hanya ada di dalam diri kita, seperti yang saya
tuliskan sebelumnya, prinsip hidup saya itu terkadang tidak dapat berjalan
sesuai dengan apa yang saya inginkan. Jika saya berprinsip, seorang guru harus
mampu menjadi contoh yang baik agar anak didik mampu berkelakuan baik pula. Namun
sangat disayangkan pada “masa kritis” anak didik yang berkisar antara usia
12-18 tahun mendapatkan contoh yang kurang baik di lingkungan tempat mereka
belajar. Dimana pada masa-masa itu anak didik mengalami masa pertentangan,
kebingungan dan pembuktian diri. Dalam masa itulah terkadang mereka membuktikan
diri mereka menjadi seseorang yang erat dengan lingkungannya. Saya melihat,
banyak guru saat ini yang terkadang
kurang dapat memberikan teladan bagi anak didik mereka. Saya merasa sangat
kesal ketika mengetahui bahwa ada guru yang merokok di depan anak didik, jegrang (duduk dengan mengangkat salah
satu kaki) dihadapan siswanya seakan-akan seperti berada dalam warung. Belum lagi
beberapa guru yang sering berkata seperti ini. “Ngajarmu ojo smpe ngerusak
ngopimu” What ? apa yang beliau-beliau pikirkan hingga dapat berkata seperti
itu. Sebagai seorang pendidik perkataan seperti itu secara tidak langsung akan
ditiru anak didik mereka. Pernah suatu kali saya mengajar, ketika saya sedang memarahi mereka karena kesalahan mereka
yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mereka berkata “tadi malam saya belajar
bu, belajar NGOPI, ojo smpe Sinaumu (PR mu) ngelalekno ngopimu”. Benar-benar
ini miris sekali menurut saya. sebegitu Pentingkah NGOPI bagi mereka hingga
mereka melupakan kewajiban mereka dalam usianya ? terkadang saya ingin menyerah
saja untuk membiarkan mereka melakukan apa yang mereka mau, tapi toh panggilan
jiwa itu datang lagi untuk meluruskan pikiran mereka. Hal yang saya takuti
adalah ketika perspektif mereka tentang belajar adalah kebutuhan berubah
menjadi ngopi adalah kebutuhan. Tidak masalah bagi saya jika mereka mau ngopi
berapa gelas pun setiap harinya, asalkan mereka tidak lupa dengan belajar.
Belum lagi orang tua yang terkadang tidak mendukung, seperti memberi kebebasan
kepada anak didik untuk ngopi dan bersantai di warung kopi. Ah... terkadang
saya jenuh dengan menjadi pendidik dan berprinsip seperti ini. namun bukankah ini dinamika kehidupan ?
0 komentar:
Posting Komentar