Rabu, 27 Desember 2017

Dua ribu Tujuh Belas, Tahun apa ini ?

Keikhlasan itu adalah kemenangan sejati.


Menulis diiringi dengan iringan musik, menulis adalah bahasa perasaan, yang hanya penulis itu yang mengerti.

2017. Masih saja tentang tahun yang penulis sebut tahun kehidupan bagi pemula. Tahun perjuangan. Berjuang untuk berbagai tujuan. Tahun adaptasi dengan berbagai masalah yang terjadi di tahun ganjil ini.

Kaleidoskop 2017, menjadi bahan perenungan agar penulis selalu dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mengingatkan kepada penulis sendiri bahwa penulis telah mampu melewati berbagi ujian yang telah Tuhan ciptakan. Bahwa penulis adalah manusia yang kuat, yang tidak mudah patah semangat dan bangkit kembali dari keterpurukan.

Mencuplik salah satu lirik dari Fourtwnty (Ost. Filosofi kopi 2). "Sembilu yang dulu biarlah berlalu". Penulis tersadar bahwa tak seharusnya sebuah kesedihan, kepiluan, kejenuhan dan berbagai saudara tentang keterpurukan harus terus menerus meradang dalam jiwa. Sebuah keikhlasanlah yang mampu mendamaikan segalanya.


Sepertinya kurang pas, ketika saya hendak menceritakan pengalaman hidup saya dengan menyebut diri saya sendiri sebagai penulis. Sudahlah saya sebut saja dengan kata #Saya.



Kalau hidup hanya sekadar hidup, kera di hutan juga bisa hidup. Kalau kerja hanya sekadar kerja, kerbau di sawah juga bekerja (Buya Hamka).
Memaknai pergantian tahun masehi ini perlu sebuah refleksi tentang diri kita. Sudah sejauh mana kita hidup, pada taraf mana kita bekerja ?
Sebagai seorang sarjana muda yang selalu mempunyai idealisme yang kuat pasti akan sulit menerima kenyataan tentang hidup. Bahwa sebenarnya hidup itu tak selalu sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Berbagai dinamika ketika awal saya menjadi seorang guru benar-benar membuat saya mengalami shock culture. Praktek pengalaman lapangan di Sekolah Kota sangat berbeda jauh dengan Praktek nyata di sekolah yang berada jauh dari Kota. Bayangan-kenyataan yang harus saling bertabrakan hingga menyebabkan guncangan. Belum lagi tentang administrasi birokrasi sekolah yang jauh berbeda dengan pengalaman saya sekolah dulu. Segalanya terbentur kembali. Ditambah lagi dengan lingkungan yang tidak kooperatif menambah semakin berat realita yang dijalani. Cukup bagi saya beradaptasi dalam satu tahun ini dengan realita-realita yang benar-benar terjadi dalam hidup saya. Mengeluh ? Setiap saat saya mengeluh dengan orang-orang terdekat saya. Menangis ? Saya hanya menangis dalam hati saya. Marah ? Tidak selalu, namun saya pernah melakukannya. Beberapa bentuk emosi itulah yang saya alami untuk beradaptasi dengan lingkungan nyata. Namun lama kelamaan saya sudah merasa enjoy dengan kehidupan yang seperti itu. Memang itulah kehidupan saat ini. Hendak mengeluh lagi ? Mungkin akan, tapi harus berfikir lagi, toh itulah hidup untuk apa mengeluh. Hendak menangis lagi ? Ah rasanya jangan. Marah ? Emosi ini yang mungkin perlu diwanti-wanti, karena setiap saat bisa meledak-ledak seperi bom atom.

Lalu mengapa begitu lama saya beradaptasi hingga satu tahun lamanya ?
Saya anggap proses adaptasi adalah proses berfikir, proses kedewasaan dalam menangani masalah. Tak masalah berapa lama saya dapat beradaptasi, toh yang terpenting saat ini saya sudah dapat mengerti dan mengenal lingkungan saya, meski masalah tak mungkin hanya berhenti setelah kita mampu beradaptasi.

Jika pada pembuka tulisan ini, saya menyinggung sebuah keikhlasan. Maka ikhlas inilah yang akan saya sampaikan.
Tak mudah mengikhlaskan apa yang telah terjadi memang. Ikhlas tidak mudah terlepas jika kita masih bersikukuh dengan idealisme kita tanpa memperhatikan lingkungan kita. Ada banyak hal yang harus dikompromi untuk sebuah kebaikan diri. Selalu berprinsip itu baik, namun dengan embel-embel sesuai dengan kehidupan di lingkungan sekitar kita. Misal seperti ini, kita mempunyai prinsip untuk membina anak didik untuk mempunyai sifat jujur, namun kenyataan di lapangan banyak sekali faktor yang kurang mendukung. Kurangnya kerja sama dari guru lain, perilaku anak-anak berlaku tidak jujur yang seperti sudah mendarah daging, hingga sistem dari sekolah sendiri yang kurang mendukung. Dari sebuah prinsip ke sebuah realita yang terkadang sering tidak sesuai itulah yang harus membuat kita berkompromi dengan diri sendiri, prinsip itu harus tetap dilanjutkan, namun harus diimbangi dengan bersabar dan legowo. Dibutuhkan kesadaran dan keikhlasan dalam memandang realita kehidupan. Berprinsip boleh-boleh saja, namun agar kita tidak menjadi terkekang dengan prinsip kita sendiri, dibutuhkan kunci ikhlas dan legowo ketika prinsip itu sulit diterapkan dalam the real world.


Sebentar lagi tahun 2017 akan segera purna, digantikan dengan tahun 2018 yang masih belia. Jika 2017 adalah tahun perjuangan, tahun keikhlasan, tahun ketabahan. Maka tahun 2018 adalah tahun kelanjutan untuk berjuang, menjadi ikhlas dan semakin tabah dalam menghadapi segala dinamika kehidupan. Jika saya menyebut 2017 adalah the real world, maka 2018 adalah the next real world. Welcome to the next real world with the new hopes 😊




0 komentar:

Posting Komentar